A Romantic Story About Serena (24 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
7.18Mb size Format: txt, pdf, ePub

Air mata
mengalir deras di pipi Serena,

“Aku
merindukanmu Damian”, pengakuan itu, pengakuan yang sama sekali tidak di
duga-duga Damian membuat gerakan lelaki itu yang sedang mencumbu Serena
terpaku.

Damian
langsung menegakkan tubuhnya, mengangkat dagu Serena agar menatapnya,

“Apa?
Katakan sekali lagi, katakan”, Damian mendesak ketika Serena menghindari
matanya. “Katakan sekali lagi Serena, aku perlu mendengarkan lagi”

Serena
menarik napas panjang, lalu menatap mata biru yang berbinar-binar itu,

“Aku
merindukanmu Damian”, gumamnya lagi, lebih pelan dan bergetar.

“Demi
Tuhan”, Damian memejamkan matanya lama, lalu memeluk Serena, “Betapa aku ingin
mendengar pengakuan itu darimu…….”

Mereka
berpelukan lama, menikmati saat-saat yang penuh dengan keheningan itu, sampai
kemudian Damian menjauhkan pelukannya dan menatap penuh tekad,

“Kita
harus berbicara dengan Rafi”

“Jangan!!!”,
Serena langsung berteriak mencegah dan ketakutan, “Jangan Damian !!”

Mata
Damian berkilat-kilat,

“Kau
harus menentukan perasaanmu Serena, aku atau Rafi. Salah satu dari kami harus
mendapat kepastian tentang perasaanmu”, gumamnya tegas.

Serena
menangis lagi, tangannya bergerak lembut, mengelus pipis Damian, lelaki itu langsung
memejamkan matanya,

“Damian….
Mungkin aku juga menyayangimu, mungkin aku juga mencintaimu. Tapi Rafi lebih
membutuhkan aku, tanpa aku dia tidak punya siapa-siapa lagi. Sedangkan kau, kau
lelaki yang hebat, kau bisa mencari banyak penggantiku, kau pasti masih bisa
hidup tanpa aku”, gumam Serena lembut.

Ketika
Damian membuka matanya, kesakitan dan kepedihan yang terpancar di dalamnya
begitu mengiris hati Serena,

“Jadi aku
dikalahkan karena aku hebat?”, suara Damian terdengar begitu pedih, “Apakah aku
harus luka parah seperti Rafi dulu biar kau memilihku?”

 

“Damian
!!!”, Serena berseru spontan, terkejut, “Jangan pernah… jangan pernah berpikir
seperti itu, kau… kau pasti bisa memahami keputusanku”,

Damian
melihat air mata Serena yang mengalir dan mengusapnya lembut, Kemudian Damian
merangkum pipi Serena dengan kedua tangannya, menghadapkan wajah mungil pucat
pasi itu agar mau menatap matanya.

Mereka
bertatapan. Yang satu penuh air mata, yang lain penuh tekad, saling memandang
dalam keheningan,

Lalu
sebuah senyum kecil muncul di bibir Damian,

“Dasar
perempuan kecilku yang bodoh, kau tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Cukup
dengan kau bahagia. Itu saja, kau mengerti ? Sekarang hapus air matamu itu dan
tersenyumlah !”

**********

 

 

 

 

 

BAB
14

Sejak
saat itu Damian seolah-olah menghilang dari kehidupan Serena, Serena merenung
dalam mobil rumah sakit yang membawa mereka pulang ke apartemen.

Hari ini
Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit, bersama Vanessa dan suster Ana mereka
pulang ke apartemen. Suster Ana memutuskan untuk tinggal sementara membantu
Serena, dan Vanessa sudah berjanji akan berkunjung setiap hari untuk mengecek
kondisi rafi dan melakukan terapi rutin.

Kata
Dokter Vanessa, Damian memutuskan mengambil tugas perjalanan ke eropa dan
mungkin akan kembali dalam waktu yang lama.

Dada
Serena terasa nyeri, ketika sekali lagi mengakui kenyataan itu kepada dirinya
sendiri, Oh ya, dia merindukan Damian, sangat merindukannya. Ternyata cinta
memang bisa tumbuh tanpa direncanakan. Serena mencintai Damian. Dia tidak tahu
kapan perasaan ini bertumbuh. Dia hanya tahu dia mencintai Damian, itu saja.

“Aku
tidak menyangka bosmu yang kelihatannya sombong itu bisa begitu baik,
meminjamkan apartemennya”, Rafi memecah keheningan, menatap Serena dengan
sedikit menyelidik, dia bertanya-tanya karena akhir-akhir ini Serena begitu
murung,

“Aku yang
membujuknya”, Vanessa yang duduk di kursi depan cepat-cepat menjawab, tahu
bahwa Serena pasti kebingungan dengan pertanyaan Rafi itu, “Damian adalah
sahabat suamiku, aku bilang merawatmu penting bagiku, karena kamu adalah salah
seorang yang selamat dari kecelakaan yang menewaskan suamiku. Jadi Damian mau
meminjamkan apartemen itu, toh apartemen itu tidak terpakai”

Diam-diam
Serena dan suster Ana menarik napas lega mendengar kelihaian dokter Vanessa
menjawab.

Mereka
sampai di apartemen, dan Serena mendorong kursi roda Rafi memasuki ruangan itu.

Begitu
mereka masuk tanpa sadar Serena mengernyit, semua kenangan itu seolah
menghantamnya. Di sini, di apartemen ini dia menghabiskan waktu berdua dengan
Damian, makan malam bersama, bercakap-cakap bersama….

“Apartemen
yang sangat bagus, kita beruntung Serena, bos mu sangat baik”, Rafi
mendongakkan kepalanya ke belakang menatap Serena sambil tersenyum,

Mau tak
mau Serena memaksakan senyuman di bibirnya. Kuatkah ia berada di sini? Apalagi
di kamar itu…… Serena melirik kamarnya, tempat Damian juga menghabiskan
sebagian besar waktunya di sana. Tidak ! dia tidak mau masuk lagi ke kamar
itu !

Dengan
cepat dan efisien mereka menyiapkan segalanya sehingga Rafi selesai di terapi
dan beristirahat di kamarnya. Suster Ana menjaganya sebentar, lalu berpamitan
untuk kembali ke rumah sakit, berjanji akan pulang dan menginap di sini nanti
malam.

Setelah
memastikan Rafi tertidur pulas, Vanessa menyeduh teh dan mengajak Serena duduk
di ruang depan.

“Dia
sudah kembali dari eropa”, Vanessa membuka percakapan, menatap Serena dari atas
cangkir kopi yang diteguknya.

Seketika
itu juga hati Serena melonjak, tahu siapa yang di isyaratkan sebagai ‘dia’ itu.

“Apakah
dia baik-baik saja?”, Tanya Serena pelan.

Vanessa
tersenyum miring mendengar kelembutan dalam suara Serena,

“Kau itu
baik hati ya, sudah menerima arogansinya yang tidak tanggung-tanggung, tetapi
masih saja mencemaskannya”, dengan pelan Vanessa  meletakkan cangkirnya,
“Yah, dia baik-baik saja, sedikit kurus, terlalu memaksakan diri dan jadi
pemarah seperti beruang terluka, tak ada yang berani menyinggungnya dan
mendekatinya dalam radius 100 meter kalau dia sedang mengeluarkan aura
pemarahnya, bahkan direktur keuangan memilih berhubungan dengannya via
telepon”, Vanessa terkekeh. Lalu wajahnya berubah serius melihat kesedihan
Serena, “Yah….. dengan melupakan fakta kalau akhir-akhir ini dia lebih seperti
mayat hidup daripada manusia, sepertinya dia baik-baik saja”

Serena
memalingkan wajahnya dengan pedih,

“Dia
menderita Serena….”, desah Vanessa kemudian, “Aku tidak pernah melihatnya
seperti ini sebelumnya”

“Sudah…”,
Serena tidak tahan lagi mendengarnya, penderitaan Damian serasa mengiris-iris
hatinya, “Sudah aku tidak mau mendengar lagi”

Vanessa
menarik napas,

“Tapi
tadi dia memintaku menyampaikan pesan kepadamu”

Kata-kata
Vanessa yang menggantung membuat Serena menoleh, tertarik,

“Pesan ?”

Vanessa
menggangguk,

“Ya,
sebuah pesan… malam ini jam delapan, ditunggu di restaurantnya “, lalu Vanessa
menyebutkan nama sebuah hotel

Dan
Serena mengernyit, hotel tempat pertama kali dia bersama Damian.

***********

Serena
merasa tidak nyaman, pakaiannya terlalu biasa-biasa saja untuk ukuran hotel
yang mewah ini. Dia berdiri dengan kikuk di lobby, tak tahu harus berbuat apa

Entah
dorongan apa yang membuatnya datang menemui Damian malam ini. Dia tahu dia
nekat, seperti memancing iblis untuk membakarnya. Tapi dia tidak bisa menahan
diri. Dia ingin bertemu Damian, walaupun mungkin ini untuk terakhir kalinya.

“Bisa
dibantu nona ?”, Lelaki petugas hotel itu datang menghampiri, sepertinya
melihat kebingungan Serena,

“Eh saya…
saya Serena….saya sudah ditunggu…”

“Nona
Serena”, petugas itu berubah sopan dan membungkukkan tubuh, “silahkan, anda sudah
ditunggu, mari saya antar”

Dengan
ragu Serena melangkah mengikuti petugas hotel itu, memasuki restaurant yang
tertata dengan mewah dan elegan.

Dan
disanalah Damian, duduk dengan pakaian resminya, mata Damian sudah melihatnya
ketika dia memasuki ruangan. Dan tidak lepas memandanginya dengan tajam
setelahnya.

Ketika
Serena mendekat, Damian berdiri dengan sopan lalu duduk lagi setelah Serena
duduk,

Hening
sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Terimakasih
sudah datang”, gumam Damian lembut,

Serena
mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kelembutan tatapan Damian.

“Mungkin
ini untuk terakhir kalinya, mungkin setelah ini aku tidak akan datang lagi”,
gumam Serena pelan.

Damian
menggangguk,

“Setelah
ini aku tidak akan pernah memintamu datang lagi”.

Hening
lagi. Sampai pelayan membawakan makanan pembuka, mereka makan malam dalam diam.

Sampai
kemudian Damian menuangkan anggur ke gelas Serena,

Serena
mengernyit,

“Aku
tidak pernah minum alcohol”

Damian
tersenyum menggoda, senyum pertamanya malam itu,

“Tenang
saja, aku akan menjagamu. Kemungkinan terburuknya mungkin kau diperkosa saat
mabuk”

Pipi
Serena langsung merona dan Damian terkekeh.

Anggur
itu mencairkan segalanya, suasana menjadi hangat, dan percakapan mereka
mengalir lancar, Damian menceritakan tentang perjalanannya ke Eropa dan Serena
mendengarkannya dengan penuh minat.

Sampai
kemudian, Damian menggenggam tangan Serena lalu mengecupnya,

“Aku
ingin memelukmu”

Hanya
satu kalimat, tapi Serena mengerti. Dia menganggukkan kepalanya. Entah kenapa dia
menyetujuinya. Mungkin karena anggur itu sudah mempengaruhi pikiran normalnya.
Yang pasti Serena juga ingin merasakan pelukan Damian.

Dengan
lembut Damian menghela Serena, melangkah ke lantai atas,

Ketika
Damian membuka pintu kamar, Serena menatap Damian bingung, dan Damian tertawa
menyadari kebingungan Serena,

“Yah…
kamar yang sama…. Kuakui… aku memang agak sedikit sentimental”, Damian
mengangkat bahu, pipinya sedikit merona, “Kupikir… tempat saat pertama akan
cocok untuk menjadi tempat saat terakhir kita”

Serena
tersenyum lembut, dan membiarkan Damian membimbingnya memasuki kamar,

Mereka
berdiri dengan canggung, sampai Damian mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya,

“Aku
membawa cincin keluargaku, cincin yang diberikan turun-temurun untuk pengantin
perempuan”, dengan tenang dia membuka kotak itu dan menunjukkan cincin dengan
berlian biru yang mungil dan cantik, “Aku ingin memberikannya kepadamu”

“Tidak
!!”, Serena langsung berseru keras, menolak, “Jangan Damian, itu… itu cincin
yang sangat penting, itu untuk pengantin wanitamu !”

“Bagiku,
kaulah pengantin wanitaku”, Damian menarik tangan Serena, memaksa memasangkan
cincin itu ketangannya, lalu menggenggamnya erat-erat ketika Serena berusaha
melepaskan cincin itu, “Aku ingin kau memilikinya”

“Damian”,
Serena merintih penuh penderitaan, penuh air mata, Dan Damian mengusap air
matanya lembut, mengecup air matanya lembut,

“Serena”,
bisiknya seolah kesakitan, lalu mencium bibirnya dengan lembut dan penuh
perasaan, “Astaga… Serena…. Serena…. Betapa aku merindukanmu….”

Ciumannya
semakin dalam, semakin bergairah, semakin penuh kerinduan, tak tertahankan…………

**********

Damian
melepaskan ciumannya dan menatap Serena lembut,

"Kau
mabuk ya ?", senyumnya. Merasa senang karena Serena membalas ciumannya
dengan sama bergairahnya.

Serena
hanya merangkulkan tangannya erat-erat di leher Damian, merasakan benaknya
melayang-layang. Sepertinya dia memang mabuk, karena sekarang dia merasa bebas
dan begitu nyaman bersama Damian.

Damian
terkekeh geli,

"Aku
senang kalau kau mabuk, kau begitu penurut dan tidak takut-takut", dengan
lembut Damian mengecup telinga Serena, mencumbunya dengan penuh kelembutan,
"biarkan aku mencintaimu malam ini Serena....",

Dengan
lembut Damian menghela Serena ke atas tempat tidur dan mengecupi wajahnya penuh
perasaan, "selama ini kita berhubungan seks...tapi malam ini aku berjanji,
kita akan.... bercinta",

Damian
menggerakkan tangannya menurunkan gaun Serena dan mulai mengecupi pundaknya,
tersenyum senang ketika mendengar desahan Serena,

"Hmm,
kau senang sayang? Kau menyukainya ya?", dengan penuh perasaan di
kecupinya semua permukaan kulit Serena.

Serena
merasa dirinya melayang-layang, pengaruh alkohol, ditambah kemesraan Damian
yang luar biasa membuatnya merasa di awang-awang, dibukanya matanya, dan
samar-samar dilihatnya Damian mengecupi jemarinya, ketika Damian menatapnya,
mata laki-laki itu tampak berkilauan,

Other books

Fortune's fools by Julia Parks
My Lady Judge by Cora Harrison
Rock Hard by LJ Vickery
A Study In Seduction by Nina Rowan
Abracadaver by Peter Lovesey
Deadly Deeds by Kathryn Patterson
The Maytrees by Annie Dillard
Maizon at Blue Hill by Jacqueline Woodson
Learning to Love Again by Kelli Heneghan, Nathan Squiers